Kamis, 20 Oktober 2016

Makalah tentang Akhlak Terhadap Masyarakat, Alam, Bangsa dan Negara



AKHLAK TERHADAP MASYARAKAT, ALAM, DAN BANGSA NEGARA
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah
Pendidikan Budi Pekerti


oleh
Atri Ulfa Ryani
14129131
Seksi : 14 BB 02

Dosen Mata Kuliah:
Dra. Mayarnimar


JURUSAN PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR
FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS NEGERI PADANG

Semester Januari-Juni 2016


KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT, yang telah menjadikan manusia sebagai makhluk sempurna yang dilengkapi dengan akal pikiran, supaya manusia mampu memanfaatkannya untuk memenuhi kebutuhan hidup. Kemudian shalawat beserta salam penulis sampaikan kepada Nabi Muhammad SAW selaku utusan Allah SWT yang bertugas untuk menyampaikan risalah-Nya sebagai petunjuk dan peringatan untuk manusia.
Penulisan makalah ini menjadi suatu bahan bagi penulis untuk memenuhi tugas mata kuliah Pendidikan Budi Pekerti. Secara umum makalah ini memuat materi tentang Akhlak terhadap Allah, diri sendiri, dan keluarga. Tim penulis telah berusaha maksimal membuat makalah ini, walaupun masih ada kekurangan. Pada kesempatan ini, penulis tidak lupa menyampaikan rasa terima kasih kepada pihak yang ikut membantu dalam penyelesaian makalah ini terutama kepada:
1.    Ibu Dra. Mayarnimar selaku dosen pembimbing yang senantiasa memberikan arahan dalam proses perkuliahan
2.    teman-teman dalam kelompok yang sudah bekerja keras mengerjakan tugas ini serta pihak-pihak lain yang tidak  dapat disebutkan satu persatu.
Semoga bimbingan dan bantuan yang telah diberikan, menjadi amal kebaikan disisi Allah SWT. Penulis mengharapkan kritikan dan saran demi kemajuan penulis dimasa depan. Semoga makalah dapat memberikan manfaat kepada semua pihak, baik yang terkait secara langsung maupun tidak langsung.
Akhir kata, semoga Allah SWT. selalu memberikan kekuatan dan memberkahi semua amal baik yang telah kita perbuat. Amin.

Padang, 14 Februari 2016


Tim Penulis


DAFTAR ISI

KATA PEGANTAR ...........................................................................          i
DAFTAR ISI ........................................................................................          ii
BAB I PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang ...........................................................................          1
B.     Rumusan Masalah ......................................................................          1
C.     Tujuan Penulisan ........................................................................          1
BAB II PEMBAHASAN
A.    Akhlak terhadap Masyarakat......................................................          2
B.     Akhlak terhadap Alam................................................................          11
C.     Akhlak terhadap Bangsa.............................................................          13
BAB III PENUTUP
A.    Kesimpulan .................................................................................          20
B.     Saran ...........................................................................................          20
DAFTAR PUSTAKA





 
BAB I
PENDAHULUAN

A.          Latar Belakang Masalah
Dalam persoalan akhlak, manusia sebagai makhluk berakhlak berkewajiban menunaikan dan menjaga akhlak yang baik serta menjauhi dan meninggalkan akhlak yang buruk. Kualitas keberagaman justru ditentukan oleh nilai akhlak.
Dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa maupun bernegara kita sebagai umat yang senantiasa bersosialisasi, berinteraksi dengan yang lainnya, khususnya umat muslim, sudah sepantasnya kita menmpilkan akhlak mulia yang telah dicontohkan oleh Rasulullah saw dan para sahabat beliau. Selain itu, kita juga harus berakhlak kepada alam. Karena kita dan alam sama-sama makhluk ciptaan-Nya.
Oleh karena itu, perlunya pembahasan mengenai akhlak terhadap masyarakat, terhadap alam, dan terhadap bangsa dan Negara agar kita senantiasa berakhlak sesuai aturan agama-Nya.

B.            Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka dapat diperoleh rumusan masalah sebagai berikut :
1.        Bagaimana akhlak terhadap masyarakat?
2.        Bagaimana akhlak terhadap alam?
3.        Bagaimana akhlak terhadap bangsa dan Negara?

C.           Tujuan Penulisan
Beranjak dari rumusan masalah di atas, maka diperolehlah tujuan dari penulisan makalah ini, yaitu :
1.      Untuk mengetahui akhlak terhadap masyarakat.
2.      Untuk mengetahui akhlak terhadap alam.
3.      Untuk mengetahui akhlak terhadap bangsa dan Negara.


BAB II
PEMBAHASAN

A.    Akhlak terhadap Masyarakat
Akhlak kepada masyarakat adalah sifat yang tertanam dalam jiwa manusia yang dilakukan secara spontan tanpa pertimbangan terlebih dahulu dalam lingkungan atau kehidupaan. Akhlak kepada masyarakat mempelajari tentang bagaimana cara kita bertingkah laku di masyarakat. Tujuan dari kehidupan bermasyarakat diantaranya ialah menumbuhkan rasa cinta, perdamaian, tolong-menolong, yang merupakan fondasi dasar dalam masyarakat Islam.
Kehidupan di masyarakat pastilah akan menjumpai kegiatan silaturahim. Orang yang berakhlak baik biasanya senang dengan bertamu atau silaturahim karena ini dapat menguatkan hubungan sesama muslim. Beberapa hal kegiatan dalam masyarakat yaitu:
1.      Bertamu dan menerima tamu
a.       Bertamu
Sebelum memasuki rumah, yang bertamu hendaklah meminta izin kepada penghuni rumah dan setelah itu mengucapkan salam. Dalam (QS. An-Nur 24: 27):
Rasulullah SAW bersabda:
“Jika seorang di antara kamu telah meminta izin tiga kali, lalu tidak diizinkan, maka hendaklan dia kembali.” (HR. Bukhari Muslim)
Meminta izin kepada pemilik rumah dilakukan maksimal tiga kali itu memiliki sebab, diantaranya:
1)      Ketukan pertama sebagai isyarat kepada pemilik rumah bahwa telah kedatangan tamu.
2)      Ketukan kedua memberikan waktu untuk membereskan barang-barang yang mungkin berantakan dan menyiapkan segala sesuatu yang piperlukan.
3)      Ketukan ketiga biasanya pemilik rumah sudah siap membukakan pintu. Akan tetapi bisa saja pada waktu ketukan kedua pemilik rumah sudah membukakan pintu, tergantung situasi dan kondisi pemilik rumah.
Namun bila pada ketukan ketingga tetap tidak dibukakan pintu, kemungkinan pemilik rumah tidak bersedia menerima tamu atau sedang tidak berada di rumah. Merujuk firman Allah SWT (QS. An-Nur 24:28):
Etika dalam bertamu yaitu sebagai berikut:
1)      Dilarang untuk Mengintip di Jendela.
Mengintip di jendela ketika hendak bertamu bukanlah etika yang baik dan ini menunjukkan sikap yang kurang sopan, jadi hendaknya kita menghindarinya agar si pemilik rumah tidak merasa terganggu.
2)      Sopan saat bertamu.
Berlaku sopan/ baik itu merupakan akhlak seorang muslim. Apabila bertamu maka hendaklah mengucapkan hal-hal yang baik, berperilaku yang sopan dan ramah agar si tuan sumah tetap merasa nyaman.
3)      Pilihlah waktu yang tepat dan jangan terlalu lama.
Usahakan bertamu di waktu yang tepat, misalnya di waktu sore, hindari bertamu di waktu orang lain sedang istirahat, misalnya tengah malam dan jangan terlalu lama, hal ini dianjurkan karena dikhawatir justru akan mengganggu aktivitas tuan rumah.
4)      Tidak merepotkan.
Berbuat baik kepada tamu termasuk perkara penting yang diwajibkan oleh Rasulullah S.A.W kepada kita. Perbuatan ini termasuk hak muslim atas muslim lainnya. Termasuk ahklak yang mulia, Rasulullah S.A.W bersabda:
Barang siapa beriman kepada Allah dan hari Akhir, hendaklah ia memuliakan tamu-tamunya dengan memberinya hadiah. Apa hadiahnya itu ya Rasulullah? Beliau menjawab (menjamunya sehari semalam, jamuan untuk tamu ialah 3 hari dan selebihnya adalah sedekah).

b.      Menerima tamu
Salah satu akhlak yang terpuji dalam Islam adalah menerima dan memuliakan tamu tanpa membedakan status sosial. Rasulullah SAW bersabda:
“Barang siapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir, hendaklah ia berkata yang baik atau diam. Barang siapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir hendaklah ia memuliakan tetangganya. Dan barang siapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir, maka hendaklah ia memuliakan tamunya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Jika tamu datang dari tempat yang jauh dan ingin menginap, maka pemilikan rumah atau tuan rumah wajib menerima dan menjamunya dengan batasan maksimal tiga hari. Apabila tamu mau menginap lebih dari tiga hari, terserah tuan rumah tetap menjamunya atau tidak. Rasulullah SAW bersabda:
“Menjamu tamu itu hanya tiga hari. Jizahnya sehari semalam. Apa yang dibelajakan untuk tamu diatas tiga hari adalah sedekah. Dan tidak bolaeh bagi tamu tetapmenginap (lebih dari tiga hari). Karena hal itu akan memberatkan tuan rumah.”  (HR. Tirmidzi)
Menurut Rasulullah SAW, menjamu tamu lebih dari tiga hari nilainya sedekah, bukan lagi kewajiban.
2.      Hubungan Baik Dengan Tetangga
Memuliakan dan berbuat baik kepada tetangga adalah perkara yang sangat ditentukan dalam syariat islam, hal ini juga telah diperintahkan Allah dalam Firman-Nya (QS. An-Nisa:36)
Sebagai seorang muslim yang baik maka hendaklah kita senantiasa memperlakukan tetangga kita dengan senantiasa memperhatikan dan memuliakan haknya. Hak seorang tetangga ini dapat diklasifikasikan menjadi 4, yaitu :
1)      Berbuat Baik (Ihsan) Kepada Tetangga
Diantar ihsab kepada tetangga adalah ta’ziah ketika mereka mendapatkan musibah, mengucapkan salam ketika mendapatkan kebahagiaan, menjenguknya ketika sakit, dan bermuka manis ketika bertemu dengannya serta membantu membimbingnya kepada hal-hal yang bermanfaat dunia akhirat. Sebagian ulama berkata, kesempurnaan berbuat baik kepada tetangga ada 4 hal, yaitu :
a.       Senang dan bahagia dengan apa yang dimilikinya
b.      Tidak tamak untuk memiliki apa yang dimilikinya
c.       Mencegah gangguan dengannya
d.      Bersabar dari gangguangnya
e.       Sabar menghadapi gangguan tetangga
2)      Menjaga dan Memelihara Tetangga
Imam Ibnu Abi Jamroh berkata, menjaga tetangga termasuk kesempurnaan iman orang jahiliyah dahulu sangat menjaga hal ini melaksanakan wasiat berbuat baik ini dengan memberikan beraneka ragam sesuai kemampuan, seperti salam, bermuka manis ketika bertemu, menahan sebab-sebab yang mengganggu mereka dengan segala macam nya, baik jasmani dan rohani.
3)      Tidak Mengganggu Tetangga
Telah dijelaskan diatas kedudukan tetatngga yang tinggi dan hak-haknya yang terjaga di dalam islam. Rasulullah Saw memperingatkan dengan keras upaya mengganggu tetangga, sebagaimana dalam sabdanya yaitu:
“Tidak masuk surga orang yang tetangganya tidak aman dari kejahatannya” (HR.Muslim).

3.      Adab Pergaulan Dengan Lawan Jenis
Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam bergaul dengan lawan jenis, diantaranya yaitu :
a.       Senantiasa menundukkan pandangan.
Menundukkan pandangan adalah suatu hal yang sangat dianjurkan oleh Rasulullah saw karena sesungguhnya dengan menundukkan pandangan, akan menjadi sebab Allah ridha kepadanya, dan akan senantiasa membuat qalbunya tentram. Sebab mata adalah cerminan qalbu. (An-Nur : 30)
 
Syaikhul islam Ibnu Tamuan berkata mengenai ayat ini, Allah Swt menjadikan sikap menundukkan pandangan dan menjaga kemaluan sebagai upaya paling kuat untuk membersihkan jiwa itu mencakup hilangnya segala keburukan berupa perbuatan keji, kezaliman, kesirikan, kedustaan, dsb.
“Wahai Ali, janganlah engkau turutkan pandangan (pertama) dengan pandangan (ke-2) karena engkau berhak (yakin tidak berdosa) pada pandangan (pertama) tetapi tidak hak pada pandangan ke dua” (HR.  Abu Daud, Tirmizi).
b.      Menjaga hijab/ tidak berkhalwat
Hal yang kedua yang harus kita perhatikan dalam bergaul dengan lawan jenis adalah agar kita senantiasa menjaga hijab, tidak terlalu bercampur baur dengan lawan jenis agar kita senantiasa menjaga dijauhkan dari fitnah. Selain itu, kita dilarang untuk berkhalwat atau berduan dengan lawan jenis.
“Janganlah laki-laki berkhalwat dengan seorang perempuan kecuali bersama mahrom” (HR. Muslim).
Selain itu, di hadits lain yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Hakim, Rasulullah Saw bersabda “Ketahuilah tidaklah seorang laki-laki menyendiri dengan seorang wanita kecuali yang ke tiga adalah syaitan.” Dan di hadits lainpun dikatakan bahwa “Siapa saja yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka jangnlah sekali-kali menyendiri dengan perempuan lain yang tidak disertai mahramnya. Karena ditempat yang sepi itu ada setan yang senantiasa mengajak berbuat zina” (al-hadits).
Kita juga dilarang untuk bersentuhan dengan lawan jenis karena itulah kita harus senantiasa memberi batasan dalam bergaul dengan mereka, hindari hal-hal yang bisa membuat kita saling bercampur baur dan bersentuhan dengan lawan jenis. Dari Aisyah ra, “Rasulullah S.a.w tidak pernah menyentuh tangan seorang wanita kecuali yang dimiliki” (HR.  Bukhari).
Dan suatu kecelakaan besar, apabila menyepelekan hal seperti ini sesungguhnya ditusukkan kepada salah seorang diantara kamu dengan jarum besi itu lebih baik daripada ia menyentuh wanita yang tidak halal baginya (HR.  Baihaqi, Ath-Tabrani)
Rasulullah pun mengabarkan kepada umat manusia agar senantiasa berhati-hati dalam bergaul dengan lawan jenis karena dapat membuka pintu fitnah. “Tidaklah ku tinggalkan setelahku suatu fitnah yang lebih berbahaya laki-laki melainkan fitnah yang datang dari wanita”. (HR.  Muttafaqun Alaih)
c.       Berkomunikasi untuk hal yang penting saja.
Untuk menghindari timbulnya perasaan saling mengagumi maka dianjurkan untuk membatasi pergaulan dengan lawan jenis. Cukuplah berkomunikasi untuk hal-hal yang penting dan hindari kebiasaan bercanda dengan lawan jenis karena ini bisa menimbulkan rasa kagum yang akan berujung pada rasa cinta. Dan kemungkinan terbesar, cinta ini adalah cinta yang hanya berlandas pada nafsu dan akan menodai kesucian cinta itu. Oleh sebab itu, kita harus senantiasa bersikap wara’ dalam bergaul dengan lawan jenis.

4.      Ukhuwah Islamiyah
Ukhuwah Islamiyah bisa diartikan sebagai persaudaraan di antara umat islam, dimana persaudaraan diantara seorang muslim diibaratkan sebagai bangunan yang kokoh yang sedang menguatkan. Sebagai umat islam, ada hal-hal yang harus ditunaikan anatar sesama umat islam sebagaimana yang dijelaskan Rasulullah dalam sabdanya:
“Apabila engkau berjumpa dengannya, ucapkanlah salam, apabila ia mengundangmu, penuhilah, apabila dia meminta nasehat kepadamu berilah nasehat, apabila dia bersin dan mengucapkan Alhamdulillah, ucapkanlah Yarhamukallah, apabila dia sakit, jenguklah dan apabila dia meninggal dunia, antarkanlah jenazahnya” (HR. Bukhari Muslim)
Jadi, ada 6 hak seorang muslim sebagaimana yang disebutkan dalam hadits diatas, yaitu:
1.      Apabila engakau berjumpa dengannya, ucapkanlah salam
Dari Abu Hurairah r.a., ia berkata bahwa Rasulullah saw bersabda,
“Kalian tidak akan masuk surga, kecuali dengan beriman. Kalian tidak akan beriman, kecuali dengan saling mencintai. Maukah kalian aku tunjukkan kepada sesuatu yang jika kalian lakukan, maka kalian akan saling mencintai? Sebarkanlah salam di antara kalian!” (HR. Muslim)
Selain itu, kita dianjurkan untuk saling memberi salam tidak hanya kepada orang-orang yang kita kenal saja tetapi begitupun dengan orang yang belum kita kenal. Dari Abdullah ibn Amr r.a., “Seorang pemuda bertanya kepada Rasulullah saw, ‘Apa yang terbaik dalam islam?’ Rasulullah menjawab, ‘Memberi makan (orang miskin) dan mengucapkan salam kepada yang engkau kenal atau yang tidak engkau kenal.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Salam merupakan salah satu dari nama-nama Allah, menyebarkan salam berarti banyak menyebut Allah, sebagaimana difirmankan oleh Allah, sebagaimana difirmankan oleh Allah,
“Laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar.”(QS. AL-Ahzab: 35)
2.      Apabila ia mengundangmu penuhilah
Dari Ibnu Umar Ibnu Umar ra., Rasulullah saw bersabda “Penuhilah undangan jika kalian diundang (HR. Muslim) dan di hadits lain yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra., Rasulullah bersabda “Jika seorang diantara kamu diundang maka hendaklah ia menghadirinya jika dia sedang berpuasa maka doakanlah dan kalau tidak berpuasa hendaklah dia makan.” (HR. Muslim No.78)
Dari Jabir Abdullah ra, ia berkata “Rasulullah saw bersabda:
“Bila salah seorang di antara kamu diundang ke suatu jamuan makan, maka hendaklah ia memenuhinya. Bila ia menghendaki dapat memakannya, dan bila menghendaki apat membiarkannya”
3.      Apabila dia minta nasehat maka nasehatilah
Menurut istilah syar’i, Ibnu al-Atsir menyebutkan, “Nasehat adalah sebuah kata yang mengungkapkan suatu kalimat yang sempurna, yaitu keinginan (memberikan) kebaikan kepada orang yang dinasehati. Makna tersebut tidak bisa diungkapkan hanya dengan satu kata, sehingga harus bergabung dengannya kata yang lain” (An-Nihayah (V/62). Ini semakna dengan defenisi yang disampaikan oleh Imam Khaththabi. Beliau berkata, “Nasehat adalah sebuah kata yang jami‘ (luas maknanya) yang berarti mengerahkan segala yang dimiliki demi (kebaikan) orang yang dinasihati. Ia merupakan sebuah kata yang ringkas (namun luas maknanya). Tidak ada satu kata pun dalam bahasa Arab yang bisa mengungkapkan makna dari kata (nasehat) ini, kecuali bila digabung dengan kata lain.” (I’lamul-Hadits (I/189-190) danSyarah Shahih Muslim (II/32-33), lihat Fathul Bari (I/167)).
Suatu keharusan bagi setiap umat manusia untuk selagi menasehati dalam kebaikan, selagi mengajak kepada yang ma’ruf dan selalu mengingatkn ketika saudaranya khilaf. Firman Allah dalam al-qur’an (QS. An-Nahl:125) :
 
Didalam hadits Rasulullah, di jelaskan beberapa tahap dalam menasehati dan hendaklah kita mengikuti agar bisa mendapat kemuliaannya, sabda Rasulullah “Barangsiapa yang melihat perkara mungkar, maka hendaklah ia mencegahnya dengan tangannya. Jika tidak mampu, maka dengan hatinya, maka hal yang terakhir ini sebagai pertinda selemah-lemahnya iman.”(HR. Muslim, Ahmad, Abu Daud, At-Tirmidzi).
Dan sungguh mulia kedudukan orang yang menunjukkan jalan kebaikan, maka dari itu hendaklah kita selalu mengingatkan. Karena orang yang mengingatkan akan mendapat pahala sebagaimana hadit Rasulullah “Barangsiapa yang menunjukkan jalan kebaikan, ia akan memperoleh pahala seperti pahala orang yang melakukannya.” (HR.Muslim).
4.      Apabila dia bersin dan mengucapkan Alhamdulillah maka ucapkanlah Yarhamukallah
Dari Ali ra. bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Apabila salah seorang di antara kalian bersin, hendaklah mengucapkan alhamdulillah, dan hendaknya saudaranya mengucapkan untuknya yarhamukallah. Apabila ia mengucapkan kepadanya yarhamukallah, hendaklah ia (orang yang bersin) mengucapkan yahdii kumullah wa yushlihu balaakum (artinya = Mudah-mudahan Allah memberikan petunjuk dan memperbaiki hatimu).” (HR.Bukhari)[10]
5.      Apabila dia  sakit, jenguklah
Ada pahala yang besar dalam perbuatan ini dan menjenguk orang yang sakit sangat dinjurkan. Rasulullah bersabda,
“Barangsiapa menjenguk orang yang sakit, maka ia akan selalu berada dalam kebun surga.” Orang-orang bertanya, “Wahai Rasulullah, apa yang dimaksud dengan kebun surga itu?” Rasulullah menjawab, “Buah-buahnya.” (HR.Muslim)
6.      Apabila dia meninggal dunia antarkanlah jenazahnya
“Barangsiapa yang mengantarkan jenazah seorang islam dengan rasa Iman dan karena Allah sematadia menghadirinya sampai di shalati dan sampai selesai penguburannya, maka ia telah kembali dengan mendapat dua qirath tiap-tiap qirat itu semisal besarnya gunung uhud.” (HR. Bukhari)
Nafi’ berkata, “Diceritakan kepada Ibnu Umar bahwa Abu Hurairah berkata, “Barangsiapa yang mengiringkan jenazah, maka ia mendapatkan satu qirath.’ Ibnu Umar berkata, ‘Abu Hurairah terlalu banyak mengatakannya kepada kami.’ Lalu Aisyah membenarkan Abu Hurairah seraya berkata, ‘Aku mendengar Rasulullah bersabda begitu.’ Kemudian Ibnu Umar berkata, ‘Sungguh kami telah mengabaikan banyak qirath.”

B.           Akhlak terhadap Alam
Alam ialah segala sesuatu yang ada di langit dan di bumi beserta isinya, selain Allah. Allah melalui Al quran mewajibkan kepada manusia untuk mengenal alam semesta beserta isinya.
Manusia sebagai khalifah diberi kemampuan oleh Allah untuk mengelola bumi dan mengelola alam semesta ini. Manusia diturunkan ke bumi untuk membawa rahmat dan cinta kasih kepada alam seisinya. Oleh karena itu, manusia mempunyai tugas dan kewajiban terhadap alam sekitarnya, yakni melestarikannya dengan baik. Ada kewajiban manusia untuk berakhlak kepada alam sekitarnya. Ini didasarkan kepada hal-hal sebagi berikut :
a.       Bahwa manusia hidup dan mati berada di alam, yaitu bumi.
b.      Bahwa alam merupakan salah satu hal pokok yang dibicarakan oleh al quran.
c.       Bahwa Allah memerintahkan kepada manusia untuk menjaga pelestarian alam yang bersifat umum dan yang khusus.
d.      Bahwa Allah memerintahkan kepada manusia untuk mengambil manfaat yang sebesar-besarnya dari alam, agar kehidupannya menjadi makmur.
e.       Manusia berkewajiban mewujudkan kemakmuran dan kebahagiaan di muka bumi.

1.      Alam Sebagai Karunia Allah SWT
Akhlak kepada lingkungan adalah perilaku atau perbuatan kita terhadap lingkungan, Akhlaq terhadap lingkungan yaitu manusia tidak dibolehkan memanfaatkan sumber daya alam dengan jalan mengeksploitasi secara besar-besaran, sehingga timbul ketidak seimbangan alam dan kerusakan bumi.
Predikat manusia sebagai khalifah Allah di muka bumi, disamping mengandung makna kewajiban manusia menegakkan hukum Tuhan di muka bumi juga mengandung arti hak manusia mengelola alam sebagai fasilitasnya. Apakah alam, laut, udara dan bumi memberi manfaat kepada manusia atau tidak bergantung kepada kemampuannya mengelola alam ini. Banjir, kekeringan, tandus, polusi dan sebagainya sangat erat dengan kualitas pengelolaan manusia yang tidak bertanggung jawab atas alam.
Tanggungjawab artinya, setiap keputusan dan tindakan harus diperhitungkan secara cermat implikasi-implikasi yang timbul bagi kehidupan manusia dengan memaksimalkan kesejahteraan dan meminimalkan mafsadat dan mudharat. Setiap keputusan mengandung implikasi-implikasi positif dan negatif, yang mendatangkan keuntungan dan yang mendatangkan kerugian. Jika peluangnya berimbang, maka mencegah hal yang merusak harus didahulukan atas pertimbangan keuntungan (dar'u al mafasid muqaddamun 'al/1 jalb al masalih). Contohnya: menebang hutan itu mudah dalam menambah keuangan negara, tetapi kerusakan lingkungan yang ditimbulkan akibat penebangan hutan lebih berat dan lebih mahal biaya rehabilitasinya dibanding keuntungan yang diperoleh.
2.      Memelihara kebersihan dan kesehatan lingkungan
Kebersihan lingkungan adalah kebersihan tempat tinggal, tempat bekerja, dan berbagai sarana umum. Tingkat kebersihan berbeda-beda menurut tempat dan kegiatan yang dilakukan manusia. Kebersihan di rumah berbeda dengan kebersihan kamar bedah di rumah sakit, sedangkan kebersihan di pabrik makanan berbeda dengan kebersihan di pabrik semikonduktor yang bebas debu.
Problem tentang kebersihan lingkungan yang tidak kondusif dikarenakan masyarakat selalu tidak sadar akah hal kebersihan lingkungan. Tempat pembuangan kotoran tidak dipergunakan dan dirawat dengan baik. Akibatnya masalah diare, penyakit kulit, penyakit usus, penyakit pernafasan dan penyakit lain yang disebabkan air dan udara sering menyerang golongan keluarga ekonomi lemah.
3.      Cara memelihara kebersihan & kesehatan lingkungan:
Dimulai dari diri sendiri dengan cara memberi contoh kepada masyarakat bagaimana menjaga kebersihan & kesehatan lingkungan, Selalu Libatkan tokoh masyarakat yang berpengaruh untuk memberikan pengarahan kepada masyarakat akan pentingnya menjaga kebersihan & kesehatan lingkungan, Sertakan para pemuda untuk ikut aktif menjaga kebersihan & kesehatan lingkungan, Perbanyak tempat sampah di sekitar lingkungan anda, reboisasi, pekerjakan petugas kebersihan lingkungan dengan memberi imbalan yang sesuai setiap bulannya, Sosialisakan kepada masyarakat untuk terbiasa memilah sampah rumah tangga menjadi sampah organik dan non organic, Pelajari teknologi pembuatan kompos dari sampah organik agar dapat dimanfaatkan kembali untuk pupuk, Kreatif, Dengan membuat souvenir atau kerajinan tangan dengan memanfaatkan sampah, Atur jadwal untuk kegiatan kerja bakti membersihkan lingkungan.

4.      Cara Menyikapi Bencana Alam
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu, Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.” (Q.S Al-Baqarah : 153)

Artinya : “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya......” (Q.S Al-baqarah : 286)

C.          Akhlak Berbangsa
Modernisasi zaman yang semakin berkembang dari waktu ke waktu menuntut manusia untuk memahami akhlak secara esensial, dalam arti bahwa manusia memahami akhlak bukan hanya sebagai sikap/perilaku saja. Melainkan, akhlak tersebut di implementasikan dalam kehidupan sehari-hari.
Akhlak dalam berbangsa perlu untuk disadari oleh kita agar kita dapat menjadi semakin sensitif terhadap persoalan yang terjadi pada bangsa dan negara kita. Hal ini didorong dengan kekhawatiran akan bobroknya generasi kita, apabila tidak dibekali dengan pengetahuan tentang akhlak yang cukup, untuk menjalani kehidupan kedepannya ia akan terombang-ambing. Berikut merupakan akhlak dalam berbangsa:
1.      Musyawarah
Kata ( شورى ) Syûrâ terambil dari kata ( شاورة- مشاورة- إستشاورة) menjadi ( شورى ) Syûrâ. Kata Syûrâ bermakna mengambil dan mengeluarkan pendapat yang terbaik dengan menghadapkan satu pendapat dengan pendapat yang lain.Dalam Lisanul ‘Arab berarti memetik dari serbuknya dan wadahnya. Kata ini terambil dari kalimat (شرت العسل) saya mengeluarkan madu dari wadahnya. 
Berarti mempersamakan pendapat yang terbaik dengan madu, dan bermusyawarah adalah upaya meraih madu itu dimanapun ia ditemukan, atau dengan kata lain, pendapat siapapun yang dinilai benar tanpa mempertimbangkan siapa yang menyampaikannya. Musyawarah dapat berarti mengatakan atau mengajukan sesuatu.
Adapun salah satu ayat dalam Al – Qur’an yang membahas mengenai Musyawarah adalah surah Al-Syura ayat 38:
وَالَّذِينَ اسْتَجَابُوا لِرَبِّهِمْ وَأَقَامُوا الصَّلاةَ وَأَمْرُهُمْ شُورَى بَيْنَهُمْ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ
Artinya: “Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezki yang Kami berikan kepada mereka.” (QS. Asy-Syura: 38)
Musyawarah sangat diperlukan untuk dapat mengambil keputusan yang paling baik disamping untuk memperkokoh rasa persatuan dan rasa tanggung jawab bersama . Ali Bin Abi Thalib menyebutkan bahwa dalam musyawarah terdapat tujuh hal penting yaitu, mengambil kesimpulan yang benar, mencari pendapat, menjaga kekeliruan, menghindari celaan, menciptakan stabilitas emosi, keterpaduan hati, mengikuti atsar.
2.      Menegakkan Keadilan
Istilah keadilan berasal dari kata ‘adl (Bahasa Arab), yang mempunyai arti antara lain sama dan seimbang. Dalam pengertian pertama, keadilan dapat diartikan sebagai membagi sama banyak, atau memberikan hak yang sama kepada orang-orang atau kelompok. Dengan status yang sama.
Dalam pengertian kedua, keadilan dapat diartikan dengan memberikan hak seimbang dengan kewajiban, atau memberi seseorang sesuai dengan kebutuhannya.

a.       Perintah Berlaku Adil
Di dalam Al-Qur’an terdapat beberapa ayat yang memerintahkan supaya manusia berlaku adil dan menegakkan keadilan. Perintah itu ada yang bersifat umum dan ada yang khusus dalam bidang-bidang tertentu. Yang bersifat umum misalnya yang terdapat dalam Quran surah An-Nahl ayat 90 yaitu:
“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.”. (QS. An-Nahl 16:90)
Sedangkan yang bersifat khusus misalnya bersikap adil dalam menegakkan hukum (QS. An-Nisa’ 4: 58); adil dalam mendamaikan konflik (QS. Al-Hujurat 49:9); adil terhadap musuh (QS. Al-Maidah : 8) adil dalam rumah tangga (QS. An-Nisa’ 4:3 dan 129); dan adil dalam berkata (QS. Al-An’am 6:152).
b.      Keadilan Hukum
Islam mengajarkan bahwa semua orang mendapat perlakuan yang sama dan sederajat dalam hukum, tidak ada diskriminasi hukum karena perbedaan kulit, status sosial, ekonomi, politik dan lain sebagainya. Allah menegaskan:
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS. An-Nisa’4:58).
c.       Keadilan dalam Segala Hal
Disamping keadilan hukum, islam memerintahkan kepada umat manusia, terutama orang-orang yang beriman untuk bersikap adil dalam segala aspek kehidupan, baik terhadap diri dan keluarganya sendiri, apalagi kepada orang lain. Bahkan kepada musuh sekalipun setiap mukmin harus dapat berlaku adil. Mari kita perhatikan beberapa nash berikut ini :
1)      Adil terhadap diri sendiri
2)      Adil terhadap isteri dan anak-anak
3)      Adil dalam mendamaikan perselisihan
4)      Adil dalam berkata
5)      Adil terhadap musuh sekalipun

3.      Amar Ma’ruf Nahi Mungkar
Secara harfiah amar ma’ruf nahi munkar (al-amru bi ‘l-ma’ruf wa ‘n-nahyu ‘an ‘l-munkar) berarti menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar.
Ma’ruf secara etimologis berarti yang dikenal, sebaliknya munkar adalah sesuatu yang tidak dikenal. Yang menjadi ukuran ma’ruf atau munkarnya sesuatu ada dua, yaitu agama dan akal sehat atau hati nurani. Bisa kedua-duanya sekaligus atau salah satunya. Semua yang diperintahkan oleh agama adalah ma’ruf, begitu juga sebaliknya, semua yang dilarang oleh agama adalah munkar. Dalam hal ini Allah menjelaskan:
“Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan mereka ta’at kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. At-Taubah 9:71)
Dalam ayat diatas juga dapat kita lihat bahwa kewajiban amar ma’ruf nahi munkar tidak hanya dipikulkan kepada kaum laki-laki tapi juga kepada kaum perempuan, walaupun dalam pelaksanaannya disesuaikan dengan kodrat dan fungsi masing-masing.
Jika umat Islam ingin mendapatkan kedudukan yang kokoh di atas permukaan bumi, disamping mendirikan shalat dan membayar zakat mereka harus melakukan amar ma’ruf nahi munkar. Allah SWT berfirman:
“(yaitu) orang-orang yang jika Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi, niscaya mereka mendirikan shalat, menunaikan zakat, menyuruh berbuat yang ma’ruf dan mencegah dari perbuatan yang munkar; dan kepada Allah-lah kembali segala urusan.”(QS. Al-Haji 22:41)
4.      Hubungan Pemimpin dan yang dipimpin
Al-Qur’an menjelaskan bahwa Allah SWT adalah pemimpin orang-orang yang beriman :
“Allah Pemimpin orang-orang yang beriman; Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan kepada cahaya. Dan orang-orang yang kafir, pemimpin-pemimpin mereka adalah thaghut, yang mengeluarkan mereka dari cahaya kepada kegelapan. Mereka itu adalah penghuni neraka. Mereka kekal di dalamnya.” (QS. Al-Baqarah 2:257)
Azh-zhulumat (kegelapan) dalam ayat diatas adalah simbol dari segala bentuk kekufuran, kemusyrikan, kefasikan dan kemaksiatan. Atau dalam bahasa sekarang azh-zhulumat adalah bermacam-macam ideologi dan isme-isme yang bertentangan dengan ajaran Islam seperti komunisme, sosialisme, kapitalisme, liberalisme, materialisme, hedonisme dan lain sebagainya. Sedangkan an-Nur adalah simbol dari ketauhidan, keimanan, ketaatan dan segala kebaikan lainnya.
At-thaghut adalah segala sesuatu yang disembah (dipertuhan) selain dari Allah SWT dan dia suka diperlakukan sebagai Tuhan tersebut. Menurut Sayyid Qutub, Thaghut adalah segala sesuatu yang menentang kebenaran dan melanggar batas yang telah digariskan oleh Allah SWT untuk hamba-Nya. Dia bisa berbentuk pandangan hidup, peradaban dan lain-lain yang tidak berlandaskan ajaran Allah SWT.
a.       Kriteria Pemimpin dalam Islam
Pemimpin umat atau dalam ayat diatas di istilahkan dengan waliy dan dalam ayat lain (Q.S An-Nisa 4:59) disebut dengan Ulil Amri adalah penerus kepemimpinan Rasulullah SAW setelah beliau meninggal dunia .
Orang – orang yang dapat dipilih menggantikan beliau sebagai pemimpin minimal harus memenuhi empat kriteria sebagaimana dijelaskan dalam surat Al – Maidah ayat 55 .
1)      Beriman kepada Allah SWT. Karena Ulil Amri adalah penerus kepemimpinan Rasulullah SAW, sedangkan Rasulullah sendiri adalah pelaksana kepemimpinan Allah SWT, maka tentu saja yang pertama kali harus dimiliki penerus beliau adalah Keimanan. Tanpa Keimanan kepada Allah dan Rasul-Nya bagaimana mungkin pemimpin dapat diharapkan memimpin umat menempuh jalan Allah diatas permukaan bumi ini.
2)      Mendirikan Shalat. Shalat adalah ibadah Vertikal langsung kepada Allah SWT. Seorang pemimpin yang mendirikan shalat diharapkan memiliki hubungan vertical yang baik dengan Allah SWT . Diharapkan nilai – nilai kemuliaan dan kebaikan yang terdapat dalam shalat dapat tercermin dalam kepemimpinannya.
3)      Membayarkan Zakat. Zakat adalah ibadah madhdhah yang merupakan simbol kesucian dan kepedulian sosial. Seorang pemimpin yang berzakat diharapkan selalu berusaha mensucikan hati dan hartanya. Dia tidak mencari dan menikmati harta dengan cara yang tidak halal (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme ). Dan lebih dari pada itu dia memiliki kepedulian social yang tinggi terhadap kaum dhu’afa dan mustadh’afin . Dia akan menjadi pembela orang-orang yang lemah.
4)      Selalu Tunduk Patuh kepada Allah SWT. Dalam ayat diatas disebutkan pemimpin itu haruslah orang selalu ruku’. Ruku’ adalah simbol kepatuhan secara mutlak kepada Allah SWT dan Rasul-Nya yang secara konkret dimanifestasikan dengan menjadi seorang muslim yang kaffah , baik dalam aspek aqidah, ibadah, akhlaq maupun muamalat. Aqidahnya benar, ibadahnya tertib, dan sesuai tuntutan Nabi, akhlaknya terpuji, dan muamalatnya tidak bertentangan dengan syariat.
Kesusilaan adalah peraturan hidup yang berasal dari suara hati manusia. Kesusilaan mendorong manusia untuk kebaikan akhlaknya. Kesusilaan berasal dari ethos dan esprit yang ada dalam hati nurani. Sanksi yang melanggar kesusilaan adalah batin manusia itu sendiri seperti penyesalan, keresahan dan lain-lain.
1.      Pembangunan Moral dan Akhlak Bangsa. Keberhasilan dan kegagalan suatu negara terletak pada sikap dan prilaku dari seluruh komponen bangsa, baik pemerintah, DPR (wakil rakyat), pengusaha, penegak hukum dan masyarakat. Apabila moral etik dijunjung oleh bangsa kita maka tatanan kehidupan bangsa tersebut akan mengarah pada kepastian masa depan yang baik, dan apabila sebaliknya maka keterpurukan dan kemungkinan dari termarjinalisasi oleh lingkungan bangsa lain akan terjadi.
2.      Memperbaiki Diri Sebelum Memperbaiki Sistem. Di antara prioritas yang dianggap sangat penting dalam usaha perbaikan (ishlah) ialah memberikan perhatian terhadap pembinaan individu sebelum membangun masyarakat; atau memperbaiki diri sebelum memperbaiki sistem dan institusi. Yang paling tepat ialah apabila kita mempergunakan istilah yang dipakai oleh Al Qur'an yang berkaitan dengan perbaikan diri ini; yaitu: (QS. Ar-Ra'd: 11)
Inilah sebenarnya yang menjadi dasar bagi setiap usaha perbaikan, perubahan, dan pembinaan sosial. Yaitu usaha yang dimulai dari individu, yang menjadi fondasi bangunan secara menyeluruh.
3.      Akhlakul Karimah dalam Kehidupan Modern. Saat ini kita berada di tengah pusaran hegemoni media, revolusi iptek tidak hanya mampu menghadirkan sejumlah kemudahan dan kenyamanan hidup bagi manusia modern, melainkan juga mengundang serentetan permasalahan dan kekhawatiran. Teknologi multimedia misalnya, yang berubah begitu cepat sehingga mampu membuat informasi cepat didapat, kaya isi, tak terbatas ragamnya, serta lebih mudah dan enak untuk dinikmati. Namun, di balik semua itu, sangat potensial untuk mengubah cara hidup seseorang, bahkan dengan mudah dapat merambah ke bilik-bilik keluarga yang semula sarat dengan norma susila. Dengan otoritas yang ada pada akhlakul karimah, seorang muslim akan berpegang kuat pada komitmen nilai. Komitmen nilai inilah yang dijadikan modal dasar pengembangan akhlak, sedangkan fondasi utama sejumlah komitmen nilai adalah akidah yang kokoh, Akhlak, pada hakekatnya merupakan manifestasi akidah karena akidah yang kokoh berkorelasi positif dengan akhlakul karimah.
4.      Makna Amanah Dalam Konteks Akhlak Bangsa. Dari segi bahasa, amanah ada hubungannya dengan iman dan aman. Artinya sifat amanah itu dasamya haruslah pada keimanan kepada Alloh  SWT, dan dampak dari sifat amanah, atau pelaksanaan dari hidup amanah itu akan melahirkan rasa aman, rasa aman bagi yang  bersangkutan dan rasa aman bagi orang lain.

BAB III
PENUTUP

A.           Kesimpulan
Akhlak kepada masyarakat adalah sifat yang tertanam dalam jiwa manusia yang dilakukan secara spontan tanpa pertimbangan terlebih dahulu dalam lingkungan atau kehidupaan. Akhlak kepada masyarakat mempelajari tentang bagaimana cara kita bertingkah laku di masyarakat. Tujuan dari kehidupan bermasyarakat diantaranya ialah menumbuhkan rasa cinta, perdamaian, tolong-menolong, yang merupakan pondasi dasar dalam masyarakat Islam.
Alam ialah segala sesuatu yang ada di langit dan di bumi beserta isinya, selain Allah. Allah melalui Al quran mewajibkan kepada manusia untuk mengenal alam semesta beserta isinya. Manusia sebagai khalifah diberi kemampuan oleh Allah untuk mengelola bumi dan mengelola alam semesta ini. Manusia diturunkan ke bumi untuk membawa rahmat dan cinta kasih kepada alam seisinya. Oleh karena itu, manusia mempunyai tugas dan kewajiban terhadap alam sekitarnya, yakni melestarikannya dengan baik.
Akhlak dalam berbangsa perlu untuk disadari oleh kita agar kita dapat menjadi semakin sensitif terhadap persoalan yang terjadi pada bangsa dan negara kita. Hal ini didorong dengan kekhawatiran akan bobroknya generasi kita, apabila tidak dibekali dengan pengetahuan tentang akhlak yang cukup, untuk menjalani kehidupan kedepannya ia akan terombang-ambing.

B.           Saran
Sebagai makhluk Allah, sudah semetinya kita harus berakhlak kepada masyarakat, alam, dan bangsa Negara sebagai wujud syukur atas nikmat yang telah diberikan-Nya kepada kita. Oleh karena itu implementasikanlah akhlak itu dalam kehidupan sehari-hari.
Untuk memperoleh pengetahuan yang lebih luas lagi, maka penulis menyarankan kepada pembaca untuk dapat mengkaji lebih dalam lagi mengenai materi akhlak ini, agar ditemukan hakikat akhlak yang lebih baik lagi.

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, M. Yatimin. (2007). Studi Akhlak dalam Perspektif Islam. Jakarta : AMZAH.

Anwar, Rosihan. (2008). Akidah Akhlak. Bandung : Pustaka Setia.

Asmaran. (1999). Pengantar Studi Akhlak. Jakarta : Lembaga Studi Islam dan Kemasyarakatan.

Departemen Agama, Al Qur’an dan Terjemahnya.

Mustofa, Ahmad. (1997). Akhlak Tasawuf. Bandung : Pustaka Setia.